MEuLaboH

Konon berasal dari kata "berLabUh" santer dan terkenal kala invasi TsuNaMi taklukkan tepi daratan AtJeH bagian barat ini. Berharap tak sama TrAgiSnya dengan Meulaboh, BloG ini berisikan iMaGes bertema huMan iNteRest, Still liFe, pHoto JourNalist, dll-lah yaNg berlokasi di bagian baRat KaLimAntaN. Karenanya kritik dan saran serta tips untuk peraCik mEdIa sempit ini dari sanG pElaBuh (MeuLaboH) sangat di nanti. Tak AyaL TeriMa kasih PeraCik haturkan bagi setiap sumbangSihnYa. SalAm!

Semangat


Gelap dan pengapnya ruang dapur tak menyurutkan semangat Nola(kiri), Carlin(tengah), dan Yola(kanan) untuk belajar agama Nasrani,
kemarin. Ketiganya harus berpisah dari kelas asalnya pada mata pelajaran agama. Total dari 639 siswa di SDN 56 Pontianak Barat ini harus
bergantian belajar dari enam kelas yang tersedia dari pukul 06.30 pagi hingga 17.10 sore.

Selengkapnya...

aktifitas fajar


aktifitas warga pontianak di pasar flamboyan kala senja menyingsing.

Selengkapnya...

tenggelam


Sejumlah pekerja tengah memompa udara ke kapal tongkang pasir yang tenggelam di dasar sungai Kapuas Kalimantan Barat. Bangkit dari dasar,....

Selengkapnya...

kaum marginal





Selengkapnya...

urban





Selengkapnya...

Pribumi




"Kau pribumi terpelajar,
pribumi itu,
tidak terpelajar,
kau harus bikin mereka jadi terpelajar.
kau harus,
harus bicara pada mereka,
dengan bahasa yang mereka tahu"

Pramoedya Ananta Toer,
Anak semua bangsa

Selengkapnya...

Segelas ASA



Lama nian tak merumput eh nge-Post maksudq, hingga akhirnya tak sengaja sampai pada media ini di sela rutinitasq se-hari2, tuntutan konsep frame dalam blog ini terpaksa tertunda lantaran tuntutan perut, huahahaha klise atau terlampau dibuat dramatis, ...ini jg yg melatarbelakangi postq sebelumnya tentang komersialisasi pendidikan, ketika lini borjuis terlampau mndominasi fasilitas pendidikan di negeri ini, artikel sengaja aku kutip lewat akademisi sekaligus pemerhati pendidikan yang tulisannya jg s4 mampir di kompas lantaran diriku tak terlampau kuasai seluk beluk fakta komersialisasi pendidikan dari awal wacana muncul.


Segelas Asa,. kata lain dari harapan lebih atas kemungkinan yang belum jelas kpastiannya,.. Segelas asa pastinya pernah mampir di tiap insan di negeri ini, ada yang prioritasnya pekerjaan, pasangan impian, status sosial, dll yg ditengarai mampu dongkrak satus strata sosial sseorang pd kultur masyarakat negeri ini, namun yang ingin aku utarakan benar adalah kesempatan pendidikan di negeri ini yang sudah tak semestinya lagi, kaum yang terbentuk serta merta menjadi kaum individual yang kepentingannya tak lebih di seputar dirinya sendiri, dan paling besar berkutat di lingkaran komunitas fanatik bin maniak dogma aristokrat edan.
Wew, berantakan amat tulisanku ini, tak jelas yang mana jadi inti pembicaraan, sudahlah aq lanjutkan saja buat yang sudi mengikuti,... see,.
berawal dari pertemuanku dengan rekan atau akrabnya saudaraku di organisasi (UKM) kampus dahulu, saudara n saudari yang notabene tidak diuntungkan secara ekonomi, terlahir di kalanagan keluarga dengan kelas atau strata relatif rendah dlm kultur masyarakat negeri ini, anehnya banyak dari mereka yang hidup, bangkit dari kondisi pemiskinan terstruktur yang di setting segelintir tangan demi kepentingan yang seutuhnya belum terindentifikasi secara menyeluruh. Dari sorot mata , mimik ekspresi ketika diskusi menjawab ketimpangan sosial di negeri ini, ada kemandirian yang berarti, mereka bilang suatu bentuk perlawanan atas hak memperoleh pendidikan, bagaimana tidak masyarakat miskin seolah dipinggirkan dalam hal pemenuhan kebutuhan pendidikan yang semestinya menjadi hak dasar setiap warga di negeri ini, tak hanya dalam memenuhi kebutuhan materi, dalam menimba ilmupun mereka terlihat mengendus mengais sebutir demi sesuap, meski tak sedikit dari mereka yang kehilangan asa dari kondisi yang ada sekarang ini. (bersambung)...


Selengkapnya...

Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan



Kutipan artikel__M FirdausAktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan, frame by JeRRY FIrdaUS senanda,...
Berawal daRI RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal
standar, yang pada akhirnya menuai banyak protes,… yang menjadi keBERATaN khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan
kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak
punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.


Ujungny, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak
yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan
ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan
berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada
terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.

berjalannya Nuansa "PRIVATISASI" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai
pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas
pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab
utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU
Sisdiknas, yang menyatakan bahwa "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai
undang-undang yang ada.

Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini
secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin
terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun".

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas
menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap
terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, "Wajib BELAJAR adalah program
pendidikan minimal yang HARUS diikuti oleh WARGA negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31
Ayat (2), "setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah WAJIB MEMBIAYAINYA". Hal itu dipertegas
di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU
Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan
pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar
gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu
menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).

Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar,
di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13
Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut
secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum
perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah
menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar
dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.

Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis
menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang
berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk
memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan
pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas
penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.

Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang
nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.

Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk
melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat
sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di
Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik
(Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan
bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya
pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di
luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan
pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah
daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab
kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.

Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli
daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk
pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang
tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di
sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.

Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar
negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain,
lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting
sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis
oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.

Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka
UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap
melanggar UUD 1945....

Selengkapnya...

Terlalu dini untuk bersimpati

Lingkar alun kapuas pontianak kota!
3 januari 2009
01.57 pm.








Selengkapnya...

RituAL PenGumPuL At TPAS BAtuLayAng

 


ANGLE - Templates Novo Blogger 2008